(Arrahmah.com) – Terry Holdbrooks lahir pada tahun 1983 di Phoenix, Arizona, AS. Ia dibesarkan di rumah kakek-neneknya karena kedua orangtuanya bercerai ketika ia berusia 7 tahun.
Selama remaja, ia menyukai musik hard rock, alkohol, dan tato. Ia sempat meneliti banyak agama untuk mencari kebenaran tetapi ia mencapai kesimpulan bahwa semua agama jahat dan memilih untuk tidak percaya pada Tuhan.
Ia bergabung dengan militer pada tahun 2002 untuk keluar dari garis kemiskinan. Pada tahun 2003 ia dikirim ke Teluk Guantanamo, Kuba, untuk bekerja sebagai penjaga di kamp-kamp penjara.
Sebelum berangkat ke Guantanamo, ia mengikuti pelatihan selama dua pekan. Di pelatihan itu ia diajarkan bahwa para tahanan adalah “militan Al-Qaeda dan Taliban, orang yang membenci Amerika dan benci kebebasan”, ia mengatakan.
“Kami tidak diajarkan apa-apa tentang Islam. Kami ditunjukkan video 11 September dan kami semua diberitahu bahwa para tahanan tersebut adalah yang teburuk dari yang terburuk -mereka adalah supir Bin Laden, koki Bin Laden, dan (kami diberitahu bahwa) orang-orang ini akan membunuhmu pada kesempatan pertama yang mereka dapatkan,” tuturnya.
Ia diberi tugas memanggil para tahanan ke ruang interogasi, mengamati sel penjara untuk memastikan para tahanna tidak bertukar berbagai hal di antara mereka, membersihkan, dan sebagainya.
Ia mengatakan, ia menyaksikan kekejaman yang dilakukan oleh tentara Amerika yang ia tidak pernah berpikir itu mungkin terjadi.
“Saya melihat orang-orang dalam keadaan stres selama delapan jam sampai mereka buang air besar, lalu penjaga mengebiri mereka. Saya melihat tahanan diborgol ke lantai dengan pendingin ruangan yang disetel tinggi, kemudian disiram dengan air dingin. Darah menstruasi dioleskan pada wajah mereka dan mereka dipaksa untuk mendengar musik yang sama berulang-ulang selama berjam-jam.”
Namun yang mencuri perhatiannya selama di Guantanamo adalah sebagian besar dari para penjaga merasa sengsara, termasuk dirinya sendiri. Mereka (para penjaga tahanan) menyalahgunakan alkohol, cabul, dan berolah raga untuk melarikan diri dari penderitaan mereka.
Di sisi lain, para tahanan tersenyum meskipun siksaan terhadap mereka tak pernah berhenti. Mereka sangat dekat dengan agama mereka dan melakukan ritual mereka (ibadah) dengan penuh ketaatan.
Terry mencoba memahami bagaimana orang-orang ini masih percaya Tuhan yang penyayang yang memberi mereka cobaan yang mereka alami.
“Saya memiliki semua kebebasan di dunia, tapi saya bangun dengan keadaan tidak bahagia. Sementara orang-orang ini berada di kandang, tersenyum, dan berdoa lima kali sehari.”
Terry mulai berbicara kepada para tahanan.
“Saya tidak tahu apapun tentang Islam sebelum Guantanamo. Jadi ini culture shock untuk saya. Saya ingin belajar sebanyak yang saya bisa, jadi saya mulai berbicara dengan para tahanan tentang politik, etika dan moral, dan tentang kehidupan mereka dan perbedaan budaya. Kami berbicara sepanjang waktu,” ucapnya.
Salah satu tahanan yang berbicara banyak dengannya adalah Ahmed Errachidi.
“Kami akan berbicara selama berjam-jam. Kami berbicara tentang buku, musik, filosofi. Kami terus terjaga sepanjang malam dan berbicara tentang agama.”
Ahmed Errachidi merupakan orang Maroko yang tinggal di Inggris selama 18 tahun. Oleh tahanan lain ia dijuluki Sang Jenderal. AS menuduhnya mengikuti kamp pelatihan Al-Qaeda, tapi kemudian ia dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan.
Selama bertugas di penjara Guantano, Terry juga melakukan penelitian, membaca Al-Quran, mengobrol dengan Muslim di internet. Ia mulai merasa suka tentang Islam.
“Al-Quran adalah buku yang paling sederhana di dunia untuk dibaca. Ia tidak memiliki sihir. Isinya tidak saling bertentangan. Ini hanya sebuah instruksi manual untuk hidup.”
Ia melihat para tahanan tersebut sebagai bukti bahwa instruksi manual bekerja bahkan dalam situasi hidup yang ekstrim.
Akhirnya suatu hari di bulan Desember tahun 2003, ia berbicara dengan Errachidi dan mengikrarkan syahadat. Ia memeluk Islam selagi ia masih menjadi seorang penjaga di penjara Guantanamo.
“Tidak mudah untuk sholat lima kali sehari tanpa ada yang mengetahui. Saya mengatakan kepada mereka, saya harus sering ke kamar mandi.”
Pada tahun 2004, Terry meninggalkan Guantanamo dan pada bulan Oktober tahun 2005 ia meninggalkan militer. Namun, pernikahannya berakhir dan ia mulai minum alkohol dan hidup kacau.
“Saya mengalami mimpi tentang waktu saya di Guantanamo dan saya menghabiskan bagian terbaik dari tiga tahun, mencoba untuk melupakan Guantanamo dari pikiran saya.”
Kemudian Terry memutuskan untuk kembali ke Islam. Ia mulai berlatih sholat lagi, berhenti minum dan merokok.
Ia mengatakan, “Islam adalah sebuah agama yang sangat disiplin dan teratur. Menjalaninya memerlukan banyak upaya dan keyakinan.” (fath/allamericanmuslim/arrahmah.com)
No comments:
Post a Comment